Kegiatan dan Kiprahnya

Menjadi generasi robbani - Menjadi generasi robbani

Sabtu, 27 November 2010

Mimpi Orang Besar

Di sebuah kamar, berkumpullah empat orang remaja. Mereka adalah Mush'ab bin Zubair, 'Urwah bin Zubair, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Berkhayallah!"
"Aku berkhayal ingin jadi khalifah…" kata Abdullah bin Zubair memulai.
"Kalau aku ingin menjadi tempat rujukan ilmu." Lanjut 'Urwah bin Zubair.
"Kalau aku ingin menjadi gubernur di Irak, terus ingin menikahi dua wanita cantik sekaligus, Aisyah binti Thalhah dan Sukainah binti Husain." Kata Mush'ab bin Zubair.
"Kalau aku berharap ampunan Allah" kata Abdullah bin Umar bijak.....Yang menarik dari mimpi mereka adalah peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian saat mereka semua dewasa. Abdullah bin Zubair dibaiat menjadi khalifah resmi ummat Islam oleh penduduk Hijaz dan Iraq setelah meninggalnya Yazid bin Mu'awiyah.

Adapun 'Urwah bin Zubair, sebagaimana cita-citanya, ia benar-benar menjadi rujukan ilmu pengetahuan bagi orang-orang di masanya. Ia banyak sekali meriwayatkan hadits-hadits dari bibinya yang juga seorang ummul mukminin, Aisyah rha.

Sedangkan Mush'ab bin Zubair, pada masa kekhilafahan Abdullah bin Zubair mendapat amanah untuk menjadi gubernur di Iraq. Bukan hanya itu, mimpinya untuk menikah dengan wanita paling cantik saat itu, yaitu Aisyah binti Thalhah dan Sukainah binti Husain ternyata juga tercapai.

Dan terakhir adalah mimpi Abdullah bin Umar untuk mendapatkan ampunan Allah. Tentu kita tidak tahu, karena ini adalah rahasia Allah nanti di akhirat. Namun kita tentunya menyaksikan riwayat keshalihan seorang Abdullah bin Umar yang tidak diragukan lagi. Kita semua berdoa, semoga Abdullah bin Umar mendapatkan mimpinya di sisi Allah Swt.

Ada pelajaran yang sangat menarik disini. Bermimpi dan pemimpi itu berbeda. Sepertinya 'beti' alias beda tipis. Perbedaan yang paling mencolok terlihat pada usaha yang dilakukan untuk meraih mimpi itu.

Seorang pemimpi cenderung suka berkhayal tapi tidak mau berjuang dan berusaha untuk meraih cita-cita yang ada dalam khayalannya itu. Adapun orang yang bermimpi, pada dasarnya ia sedang bercita-cita dengan mencoba meraba masa depannya. Kemudian ia menyiapkan langkah-langkah aplikatif untuk sampai pada yang ia harapkan.

Jika kita simak sejarah hidup keempat sahabat diatas, maka kita akan mendapati mereka berjuang untuk mendapatkan mimpinya. Contohnya Abdullah bin Zubair yang ingin jadi khalifah. Ia menyiapkan dirinya dengan baik, membekali diri dengan ilmu agama dan siyasah (politik), sehingga ketika kesempatan datang, ia segera meraihnya.

'Urwah bin Zubair pun juga demikian. Ketika ia bercita-cita ingin menjadi tempat rujukan ilmu pengetahuan, maka ia menyiapkan langkah-langkah untuk sampai kesana. Ia banyak hadir di majelis-majelis ilmu para sahabat, selain juga sering bertanya tentang segala hal kepada Ummul Mukminin rha. Akhirnya, mimpi itupun terwujud.

Mush'ab bin Zubair juga menyusun langkah sedemikian rupa untuk meraih cita-citanya, menjadi gubernur di Irak dan menikah dengan dua wanita cantik di masanya. Ia belajar ilmu agama dan siyasah, sehingga ketika saudaranya menjadi khalifah, ia memiliki kompetensi dan kapasitas untuk memimpin Iraq.

Sedang Abdullah bin Umar juga begitu. Untuk meraih mimpi besarnya, ia sangat berhati-hati dalam hidupnya. Zuhud dan wara' menjadi hiasan kepribadiannya. Tegas dalam menyampaikan kebenaran, yang itu menjadi karakter yang melekat pada diri ayahnya juga ia lekatkan dalam dirinya. Kesungguhannya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya sudah menjadi rahasia umum. Semua orang hidup semasa dengannya menjadi saksi atas hal itu.

Inilah yang disebut bermimpi di alam nyata, bukan hanya mimpi saja, tapi ada upaya untuk menjemputnya. Tanpa mimpi, kita layaknya seorang yang musafir yang tak tahu arah mana yang harus dituju. Ia kehilangan kompas kehidupan. Terombang-ambing dalam gelombang kebingungan.

Bermimpilah, karena tak ada seorangpun yang bis menghalangi Anda bermimpi!
Read More.. Read More..

Melahirkan Generasi Pioner

Kota Madinah mulai berselimutkan malam. Lorong-lorong itu kini mulai sepi setelah seharian lelah beraktifitas. Suara binatang malam mulai nyaring terdengar seperti hendak menyambut malam yang telah lama mereka nantikan.

Rasa dingin mulai terasa menggigit dibalik pekatnya malam yang semakin lama semakin menyerupai tinta. Keletihan hari itu nampaknya benar-benar ingin segera mendapatkan haknya setelah seharian menunggu, karena kewajiaban juga telah menunggu keesokan harinya
Ketika semua orang sudah dibuai mimpi di rumahnya masing-masing, ada seseorang berbadan tinggi tegap yang masih terjaga. Ia kelihatan menyusuri lorong-lorong kota karena diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar. Sendirian ia menyusuri jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang semakin padat .

Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasang telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar atau tak dapat memicingkan matanya karena sakit atau yang merintih dalam penderitaan atau barangkali ada seorang pengelana yang sedang terlantar.

Orang yang sedang mengamati kondisi rakyat kota Madinah itu, tak lain adalah khalifah Umar bin Khaththab r.a.Karena letih, beliau menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil dan buruk. Dia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Kalau letih pada kedua kakinya sudah terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkahnya ke masjid, sebab ia merasa perjalanan malamnya hari ini sudah cukup dan waktu subuh mulai menjelang.

Tiba-tiba di saat ia duduk bertelekan pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka untuk dijual di pasar, pagi hari itu.

Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Nak, campur saja susu itu dengan air!” kata si ibu

“Tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab si gadis itu.

“Tetapi semua orang melaksanakan hal itu nak, campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan hal itu.

“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb dari Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab puterinya itu

Mendengar ucapan si gadis tadi, tertegunlahlah Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis yang menyesakan dadanya. Beliau amat kagum dengan keteguhan hati si gadis dalam menjaga imannya. Percakapan singkat itu amat membekas dalam hati beliau.

Umar bergegas pulang dan memerintahkan salah seorang pembantunya agar meneliti siapakah anak dan ibu tersebut, apakah dia masih gadis atau masih bersuami. Ternyata, si anak gadis itu masih belum bersuami dan hanya tinggal dengan ibunya.

Pagi harinya, Umar mengumpulkan anak-anaknya dan menayakan siapakah diantara mereka yang sudah siap menikah karena beliau akan mengajukan calon untuknya. Dan anaknya yang bernama Ashim ternyata menyanggupi keinginan ayahnya.

Singkat cerita, Umar bin Khathab r.a menikahkan putranya yang bernama ‘Ashim dengan gadis penjual susu itu. Nama gadis penjual susu itu adalah Ummu 'Imarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi'ah Ats-Tsaqafi. Dari pernikahan mereka lahirlah anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan Ummu Ashim. Dan dari rahim Laila inilah lahir seorang adalah seorang khalifah yang adil lagi bijaksana persis seperti kakeknya, Umar bin Khatab. Anak itu adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dari Bani Umayyah yang oleh para ulama disebut sebagai khalifah kelima dari Khulafaur Rasyidin karena jasa-jasa beliau menghidupkan sunnah ketika ia mulai meredup.

Kekuatan firasat Umar melihat kejadian yang mungkin dianggap biasa-biasa saja oleh manusia telah memberikan sumbangsih yang sangat luar biasa bagi sejarah umat islam. Beliau punya saham yang besar dalam proses kelahiran seorang pemimpin yang kelak akan memenuhi dunia dengan keadilan.

Agar lahir dari umat ini generasi yang benar-benar unggulan haruslah dimulai dari memilih seorang ibu yang baik bagi anak-anak. Demikianlah keyakinan Umar ketika menikahkan Ashim dengan gadis penjual susu tersebut. Dan Umar sangat percaya dengan firasatnya. Kata ‘Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”. Dan keyakinan itu telah mendapatkan buktinya.

Bila seorang muslim punya pendirian seperti itu, cukuplah itu sebagai jaminan bahwa tingkat muroqobatullahnya telah sangat mapan dan cukuplah itu sebagai pengawal hidupnya. Firasat Umar sangat tepat. Hanya karena si gadis tidak mau mencampur air susu dengan air karena takut Allah, Umar menyakini akan lahir dari rahimnya seseorang yang punya kualitas unggulan.

Bukankah Nabi telah bersabda : ” Pilihlah wanita berdasarkan agamanya, maka selamatlah dirimu.
Read More.. Read More..

Ilustrasi Menarik dari Ja’far al-Shadiq –rahimahullah-

Ja’far al-Shadiq adalah salah seorang ulama besar yang sangat dikenal. Kebesarannya berawal dari kemuliaan nasabnya. Lihatlah nasabnya berikut: Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jadi Ja’far adalah salah seorang keturunan Rasulullah. Bukan hanya itu, ternyata dia pun punya nasab mulia Abu Bakar ash-Shiddiq dari ibunya

Ja’far dikenal mempunyai jawaban-jawaban yang kuat untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Kali ini, muridnya yang juga dikenal sebagai seorang ulama ternama; Sufyan ats-Tsauri.

Sufyan bertanya: Mengapa wukuf harus di Arafah yang berada di luar tanah suci. Dan bukan di Muzdalifah yang ada di dalam tanah suci?
Urusan ibadah mahdhah seperti ini sering kali sulit dijawab. Dan paling mudah jawabannya adalah: seperti itulah perintahnnya.
Tetapi tidak untuk, Ja’far. Mari kita dengarkan ilustrasi yang teramat menarik menjawab pertanyaan muridnya:

“Ka’bah adalah rumah Allah. Tanah haram (suci) adalah pengawalnya. Adapun Arafah tempat wukuf adalah pintunya. Ketika para jamaah haji mau mengunjungi rumah Allah, mereka dihentikan di pintu. Di sana mereka memohon dengan merendahkan diri. Ketika mereka diizinkan masuk, mereka pun mendekat ke pintu kedua yaitu Muzdalifah. Ketika Dia melihat mereka banyak berdzikir dan bermunajat, Dia memberikan rahmat-Nya.

Saat itulah Dia memerintahkan mereka agar memberikan persembahan berupa menyembelih binatang. Setelah itu mereka pun membersihkan badan dari kotoran (tahallul) dan menyucikan jiwa dari dosa yang merupakan penghalang antara mereka dengan Allah. Akhirnya mereka pun diizinkan masuk ke rumah-Nya setelah bersih dari kotoran dan dosa.”

Sufyan ats-Tsauri bertanya lagi: Mengapa puasa hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah) dilarang?

Ja’far menjawab:

“Karena mereka sedang dijamu Allah. Bagi yang dijamu tidak layak untuk puasa di hadapan Yang Menjamu.”

Begitulah hikmah. Tergali pada diri seseorang di kedalaman ilmunya dan jernihnya mata air ilmu bagi dirinya.
Read More.. Read More..

Jumat, 26 November 2010

30 Menit Bersama Nabi Shallalahu alihi wa sallam

Sungguh pena akan bengkok, suara akan habis, ucapan akan terputus ketika tema pembicaraan adalah Rasulullah, kisah hidup Rasulullah, pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena terlalu banyak kemuliaan yang harus dibahas, karena tak terhitung keteladanan yang bisa ditiru. Meski tidak secara keseluruhan, setidaknya dari sisi terkecil sekalipun kita harus memulai keteladanan kita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah adalah orang yang paling rendah diri (tawadhu’) di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Karena Beliau yang paling mengetahui seberapa besar keagungan Allah.

Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan, seorang raja dari negeri Arab datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dia berjalan perlahan menuju Mekkah, hanya ingin mengetahui seperti apa sosok Nabi yang telah mampu membuat perubahan pada dunia. Ketika berada di hadapan Nabi, bergetarlah urat lehernya, seluruh tubuhnya gemetar dan bergoyang di tempat ia berdiri. Ia melihat mahkota kebesaran, tanda kebenaran dan kemuliaan pada diri Nabi. Nabi membuatnya tenang, hingga hilang ketakutannya dan beliau berkata: “Tenanglah, aku hanya seorang anak yang dilahirkan dari (rahim) seorang ibu yang makan dendeng (daging kering) di Mekkah ”.

Nabi Yang Murah Hati
Nabi shallahu alaihi wa sallam berkata: “Seandainya aku diundang untuk (makan) sepotong kikil, maka aku akan datang. Dan seandainya aku diberi hadiah sepotong paha maka aku terima ”.

Bukanlah sebuah penghormatan ketika seorang raja hanya diberi hidangan kikil. Tidak layak juga ketika sepotong paha dijadikan hadiah untuk seorang pemimpin. Tapi tidak untuk Nabi. Karena kemurahan hati, Beliau shallahu alaihi wa sallam tidak risih menerimanya bahkan yang lebih kecil dari itu.

Tidak pernah Beliau tebang pilih dalam memenuhi undangan, bahkan dari seorang Yahudi sekalipun. Tidak pernah merasa canggung ketika bepergian bersama sahabatnya, meski secara usia mereka jauh di bawahnya. Ketika mendengar ada seorang arab Badui sakit, beliau bergegas menjenguknya. Ketika ada seorang tua renta yang sakit demam, beliau segera menengoknya. Bahkan terhadap anak kecil, beliau sering bergurau dan bercanda dengan membolak-balikkan badannya. Ketika ada seorang Badui yang menghentikan perjalanannya, beliau justru turun dari kendaraannya dan berjalan bersamanya.

Suatu hari, seorang gadis kecil menarik tangan beliau dari dalam rumah ingin memperlihatkan pada beliau sesuatu yang sepele. Beliau bergegas memenuhi ajakannya dan pergi bersama gadis kecil tersebut seolah-olah beliau orang yang tidak punya beban dengan kesibukan dunia sedikitpun (padahal beliau adalah seorang Nabi dan pemimpin dunia yang di atas pundaknya bertumpu semua urusan umat).

Beliau pernah mengunjungi seorang anak kecil di Madinah yang sedang bersedih karena burung kesayangannya telah mati. Nabi ingin memberikan keteladanan bagaimana mendidik dan bersikap terhadap anak kecil. Beliau menemui anak tersebut dan bertanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi dengan Nughair (burung pipitmu) ? “

Ada seorang wanita renta datang ingin mengetahui sosok Nabi. Dia menyangka akan bertemu dengan seseorang yang bertengger mahkota (di kepalanya), dikelilingi para penjaga, dikawal oleh tentara, dan diiringi para dayang di depan dan belakangnya. Dia terkejut, ternyata yang dia temui hanyalah seorang laki-laki yang sangat sederhana, bersahaja, berwibawa, dan tenang pembawaanya yang sedang duduk di atas tanah. Dia berkata: “Lihatlah kalian kepadanya, dia duduk seperti duduknya seorang hamba sahaya, dan dia makan seperti makannya seorang budak. Maka Beliau mengatakan: “Ya, kamu benar. Apakah ada orang yang lebih tahu bagaimana mengabdi (Allah) melebihi aku ? ”.

Sungguh sebuah jawaban yang sangat menawan, penuh dengan kesahajaan dan mencerminkan budi pekerti yang luhur.

Nabi Yang Menolak Disanjung
“Tak ada raja yang menolak sembah”. Mungkin pepatah itu hanya berlaku bagi raja-raja duniawi. Tapi tidak untuk Nabi shallalahu alihi wa sallam. Ketika datang utusan bani ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Iraq, masing-masing dari utusan telah mempersiapkan kata-kata sanjungan dan pujian untuk Nabi. Tatkala mereka datang menghadap Nabi, Kepala utusan maju dan berkata: “Engkau adalah tuan kami, keturunan dari pemimpin kami. Engkau adalah pembesar kami, putra dari pembesar kami. Engkau adalah orang yang paling mulia dan paling agung diantara kami”. Mereka mengira bahwa Nabi akan tersanjung dan senang dengan pujian. Tapi lihatlah apa yang Nabi katakan:

“Hai, perkataan apa itu?! kedustaan dan kebodohan apa ini?!. Wahai manusia, bicaralah dengan perkataan yang baik jangan kalian turuti bujukan syaithan. Janganlah kalian memujiku seperti orang Nashrani memuji ‘Isa bin Maryam. Aku hanya seorang hamba dan utusan Allah, maka ucapkan: hamba Allah dan utusan-Nya ”.

Inilah Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang telah berhasil memberi warna baru bagi dunia dan memakmurkan alam semesta dengan cahaya nubuwwah. Inilah Nabi, yang belum pernah merasakan kenyang selama 3 hari berturut-turut dari makan roti dan gandum. Inilah Nabi, yang pakaiannya penuh dengan tambalan dan jahitan sementara umatnya mengenakan perhiasan Persia dan Romawi. Inilah Nabi, yang selalu duduk di atas tanah sementara para panglimanya mendiami istana-istana raja. Inilah Nabi, yang gemar duduk dan bercanda bersama anak kecil. Inilah Nabi, yang melakukan shalat sambil menggendong anak kecil di atas bahunya. Inilah Nabi, yang mengambil anak kecil dari ibunya dan meletakkannya di atas pangkuannya. Inilah Nabi, yang mengusap kepala anak yatim sambil meneteskan air mata.

Dalam riwayat disebutkan bahwa Beliau memeras susu, memperbaiki sandal, menambal baju, menyapu rumah, dan mengiris daging untuk keluarganya dengan kedua tangannya sendiri.

Bahkan ketika sakaratul maut tiba, sikap rendah diri masih menghiasi diri Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lihatlah doa yang diucapkan Nabi kepada Allah -bukankah Beliau adalah kekasih Allah-. Lihatlah apa yang diminta seorang kekasih kepada kekasihnya: “La ilaaha illallah, ya Allah mudahkan bagiku dalam menghadapi sakaratul maut. Semoga Allah mela’nat Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah). Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah ”.

Inilah sikap rendah diri yang sebenarnya. Muncul dari sosok yang kuat, bukan dari yang lemah. Melekat pada diri orang yang memiliki kekuasaan di atas bumi, bukan dari seorang miskin papa yang tak berdaya. Menghiasi pribadi yang paling mulia di atas bumi. Maka tak heran, jika sikap rendah diri Nabi ini membuat hati-hati yang keras menjadi lunak dan tunduk.

Ketika seorang Abu Jahal ingkar terhadap Nabi, datang Salman dari Persia mengatakan: “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ketika seorang Abu Lahab durhaka terhadap Rasul, sekonyong-konyong Bilal datang dan berkata: “Aku beriman kepada Allah dan RasulNya ”. Ketika seorang Umayyah bin Khalaf kufur kepada Nabi, datang Shuhaib dari negeri Rum menyatakan: “ Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Senyum, Mata Uang Dakwah Nabi

Senyum, sesuatu yang ringan dilakukan tapi mampu menembus hingga kedalaman hati manusia. Senyum, barang yang sangat murah tapi hati yang dengki berubah jadi welas asih. Senyum adalah perangkat dan mata uang yang digunakan Nabi dalam berdakwah.
Ketika datang orang yang paling memusuhi Islam kepada Nabi, beliau tersenyum kepadanya. Maka dengan ijin Allah, orang tersebut mendapatkan petunjuk.

Jarir bin Abdullah mengatakan: “Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku”.
Ketika ‘Amr bin ‘Ash –orang Arab yang paling dingin sikapnya– pertama kali menyatakan keislamannya dihadapan Nabi, beliau tersenyum kepadanya sampai- sampai ia merasa sebagai manusia yang paling dicintai oleh Nabi.

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dari Anas radhiallahu anhu: “Ada seorang Badui dari pedalaman datang kepada Nabi meminta anggur kering, kurma, biji-bijian. Ia minta dengan nada tinggi dan sikap yang tidak sopan sambil menarik kain selimut nabi yang kasar dengan keras hingga meninggalkan bekas di leher Nabi dan menjadi memar. Nabi menoleh kepada Badui tersebut sambil tersenyum.”
Anas ra berkata: “Itulah hari dimana seburuk-buruk pebuatan dibalas dengan sebaik-baik ucapan.”

Badui tersebut berkata kepada Nabi: “Hai Muhammad, berilah aku sebagian harta Allah yang ada padamu, bukan dari harta ayahmu, bukan dari harta ibumu!!”

Melihat sikap Badui terhadap Nabi, para sahabat berdiri karena hilang kesabaran dan hendak memukul si Badui. Umar bin Khattab adalah yang pertama berdiri. Tetapi Nabi menenangkan si Badui dan menyuruh para sahabat duduk sambil berkata: “Duduklah kalian, semoga Allah merahmati kalian”.

Badui tersebut merasa agak lega, kemudian diajak ke rumah Nabi dan beliau memberi semua permintaannya. Nabi bertanya padanya: “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu?”. Ia menjawab: “Ya, semoga Allah memberi balasan kepadamu keluarga dan kerabat yang baik!” Nabi berkata: “Keluarlah menuju para sahabatku dan ucapkan perkataanmu tadi, agar mereka tidak benci kepadamu ”. Maka ia keluar menuju para sahabat. Nabi bertanya kepadanya: “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu?” Ia menjawab: “Ya, semoga Allah memberi balasan kepadamu keluarga dan kerabat balasan terbaik.”

Maka si Badui kembali ke kabilahnya dan menyeru agama Islam, mereka pun masuk Islam melalui si Badui. Nabi bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian apa perumpamaan aku, kalian, dan Badui tadi?” Mereka menjawab: “Tidak tahu. Beliau berkata: “Perumpaman kita seperti seorang laki-laki yang mempunyai hewan tunggangan yang lari darinya. Orang-orang berusaha menangkap dan memegangnya tetapi ia semakin jauh larinya. Maka laki-laki tersebut berkata: “Wahai manusia, tinggalkan hewan tungganganku! Aku lebih paham tentangnya. Maka ia pun mengambil rerumputan dan mengarahkannya ke hewan tersebut maka ia pun berlari menuju kepadanya. Laki-laki tersebut berhasil memegang dan mengikat hewan tunggangannya. Kalau seandainya aku membiarkan perbuatan kalian terhadap Badui tadi, pasti kalian akan memukulnya dan membunuhnya maka ia akan masuk neraka dan kaumnya tidak akan masuk Islam. Tetapi aku bersikap lembut kepadanya sehingga Allah menyelamatkannya dari neraka melalui tanganku dan kaumnya pun masuk Islam”.

Semoga Allah subhanahu wata’ala memberi kekuatan kepada kita untuk selalu ittiba’ dalam meneladani Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Diterjemahkan dari kumpulan khutbah DR. Aidh al-Qarni
Read More.. Read More..